Debu jalanan menempel di pipi Arie, keringat membasahi kemeja lusuhnya. Matanya menerawang, menatap hamparan sawah hijau yang membentang luas. Sejak kecil, mimpinya hanya satu: kuliah. Mimpi yang terasa begitu jauh, bahkan hampir mustahil, di kampung halamannya yang terpencil.
Di sini, sarjana adalah makhluk langka, legenda yang diceritakan turun-temurun. Bukan karena kurangnya mimpi, tetapi kenyataan pahit yang menghimpit. Kemiskinan mencengkeram, jarak kampus yang bagai ujung dunia, dan ongkos transportasi yang bisa menguras isi dompet dalam sekejap. Lima kali ganti angkot, belum lagi ojek yang harus ditumpanginya, itu pun kalau ada rezeki lebih.
Lulus SMA adalah pencapaian luar biasa bagi Arie. Namun, di balik rasa bangga, terselip kebingungan yang menyesakkan. Seperti berdiri di persimpangan jalan tanpa petunjuk arah. Kuliah adalah impiannya, tetapi biaya adalah tembok raksasa yang menghadang. Apalagi, jika harus pulang pergi setiap hari, biaya akan membengkak tak terkendali.
Malam itu, di bawah temaram lampu minyak, Arie menumpahkan segala gundah gulana di hadapan kedua orang tuanya. Keheningan menyelimuti ruangan, hanya suara jangkrik yang memecah kesunyian. Kemudian, dengan suara lembut penuh kasih, orang tuanya mulai bicara. Mereka menawarkan solusi yang mungkin, meski terasa berat: menjual sepetak sawah, harta berharga keluarga. Atau, tinggal di rumah kakak ibunya, meski harus berpisah sementara.
Mata Arie berkaca-kaca. Antusiasme dan pengorbanan orang tuanya membuatnya terharu. Semangatnya kembali berkobar. Keluarganya memang bukan orang kaya, tetapi mereka memiliki hati yang kaya. Beberapa petak sawah yang menjadi sumber kehidupan, dan nama baik yang dihormati di kampungnya, adalah modal berharga untuk mewujudkan mimpi Arie.
"Arie..." Suara ibunya memecah kesunyian kamar yang dipenuhi aroma kapur barus dan pakaian yang baru dilipat. Arie, dengan tangan yang sibuk memasukkan kaos ke dalam tas ransel, menoleh. "Ini surat dari ayahmu untuk Om Budiman di kota." Sebuah amplop cokelat diulurkan, segelnya belum kering. Surat yang mungkin berisi penegasan, atau lebih tepatnya, permohonan agar Om Budiman menerima Arie tinggal di rumahnya.
Sebenarnya, orang tua Arie sudah menelepon Om Budiman. Namun, karena pertemuan mereka yang langka, surat itu menjadi jembatan, bukti konkret kehadiran Arie di Bandung. Om Budiman, satu-satunya saudara ibu yang mapan, tinggal di Bandung. Rumahnya adalah simbol kemewahan, dengan bisnis yang merambah dari percetakan hingga surat kabar mingguan.
Hubungan keluarga mereka sebenarnya baik-baik saja, hanya saja, gaya hidup Om Budiman yang seringkali menjadi bahan perbincangan. Empat kali menikah, empat kali bercerai, dan anak-anak yang tersebar bagai biji dandelion yang ditiup angin. Ibu Arie, dengan nada prihatin, seringkali menggelengkan kepala. Om Budiman, kini menduda, memiliki empat anak dari tiga pernikahan sebelumnya. Anak bungsunya, seorang remaja SMA, dua tahun lebih muda dari Arie. Usia Om Budiman mungkin sudah melewati kepala lima, tetapi semangatnya seolah tak pernah padam.
Bandung menyambut Arie dengan hiruk pikuknya. Gedung-gedung menjulang, manusia-manusia bergegas, dan suara kendaraan yang memekakkan telinga. Arie, dengan jantung berdebar, memasuki sebuah gedung bertingkat tiga, PT. Rido. Dua satpam menyambutnya dengan senyum ramah. "Selamat siang, Pak," sapa Arie, sedikit gugup.
"Selamat siang, Dik. Ada yang bisa dibantu?" Satpam bernama Asep menatap Arie dengan tatapan menyelidik.
"Saya... saya ingin bertemu Pak Budiman."
"Pak Budiman yang mana, Dik?" Asep mengerutkan kening. Arie, dengan penampilannya yang sederhana, tampak tidak mungkin memiliki urusan bisnis dengan pemilik perusahaan.
"Apa... apa ini PT. Rido?" Arie bertanya ragu. Ia sendiri belum pernah melihat kantor Om Budiman, apalagi tahu bisnisnya.
"Benar, Dik. Dan Pak Budiman adalah pemiliknya."
"Saya Arie, keponakan Pak Budiman dari Gunung Heulang."
"Keponakan?" Asep mengangkat alis, lalu meraih telepon di mejanya. "Pak Dadi, tolong ke lobi sebentar."
Beberapa menit berlalu, Pak Dadi muncul, senyum ramah menyambut Arie. "Arie, selamat datang di Bandung," ucapnya, duduk di hadapan Arie seolah mereka teman lama. Raut wajah Arie menunjukkan kebingungan. "Maaf, Pak, saya... lupa," jawabnya, mencoba mengingat-ingat.
"Saya Dadi, dulu sering ikut Om Budiman memancing saat kamu masih kecil," terang Pak Dadi. "Wah, Bapak bisa saja," Arie tersenyum canggung. "Itu kan sudah lama sekali."
Obrolan mengalir, mengungkapkan bahwa Pak Dadi bukan hanya orang kepercayaan di kantor, tetapi juga tangan kanan Om Budiman. Ia tahu segalanya tentang Om Budiman. Bahkan, anak-anak Om Budiman sering meminta bantuan Pak Dadi saat ayah mereka sedang di luar kota. Pak Dadi juga memiliki rumah mewah di belakang rumah Om Budiman, sementara rumah utama ditempati oleh istri muda Om Budiman.
"Aduh, Dik Arie," Pak Dadi menghela napas. "Om Budiman tidak bisa menemuimu, beliau sedang ada urusan bisnis di Semarang. Beliau meminta saya untuk mengurus keperluanmu. Jangan khawatir soal tempat tinggal dan kuliah, semuanya sudah diatur."
Arie menghela napas lega, senyumnya kembali merekah. Ia mengamati kesibukan di lobi, para karyawan yang lalu lalang. Beberapa karyawati tersenyum ramah padanya, mungkin karena mendengar bahwa ia keponakan pemilik perusahaan. Arie, dengan postur atletis dan wajah yang ramah, menarik perhatian mereka.
Pak Dadi menawarkan untuk pindah ke lobi tengah, tetapi Arie lebih suka mengamati suasana di lobi depan. Ia menikmati pemandangan kota, sampai akhirnya Pak Dadi mengajaknya pulang. Mobil sedan mewah membawa mereka ke kawasan villa di pinggiran kota Bandung. Kompleks perumahan elit dengan rumah-rumah megah dan keamanan ketat.
Mobil berhenti di depan rumah biru dua lantai dengan halaman luas. Di belakangnya, rumah yang sama megahnya berdiri, dipisahkan oleh kolam renang yang indah. Mang Ade, penjaga rumah, dan istrinya, Bi Enung, menyambut mereka. Bi Enung membawa tas Arie ke ruang tamu dan mempersilakannya duduk. Pak Dadi pergi ke rumahnya di belakang, meninggalkan Arie bersama Bi Enung.
Tak lama kemudian, Tante Rani muncul, senyumnya hangat dan ramah. "Tante sudah menunggu dari tadi, Arie," ucapnya, menggenggam tangan Arie. "Sampai-sampai Tante ketiduran di sofa."
Tante Rani, dengan rambut sebahu dan rok mini merah menyala, tampak menggoda. "Tante tahu Om Budiman sedang sibuk, jadi Tante yang akan menemanimu." Obrolan mereka mengalir lancar, seolah mereka sudah lama saling mengenal. Tante Rani menjawab pertanyaan Arie dengan antusias, sesekali tertawa renyah yang membuat Arie terpaku.
Gerakan Tante Rani yang lincah, dengan rok mininya yang naik turun, memperlihatkan paha mulusnya yang putih dan pinggulnya yang menggoda. Arie menelan ludah, matanya tak bisa lepas dari lekuk tubuh Tante Rani yang menggairahkan. Saat Tante Rani duduk menyilang kaki, celana dalamnya yang berwarna biru muda terlihat jelas, dengan gumpalan bulu hitam yang mengintip nakal.
Arie merasa darahnya berdesir, jantungnya berdebar kencang. Tante Rani, meski sudah berusia 35 tahun, tampak seperti gadis remaja yang menggoda. Senyumnya yang manis, matanya yang berbinar, dan tubuhnya yang aduhai membuat Arie terpesona.
"Nah, ini Yuni," kata Tante Rani, membawa Arie ke ruang tengah. Di sana, seorang gadis berseragam SMP sedang duduk di sofa, pandangannya terarah ke luar jendela, ke arah garasi yang dipenuhi mobil-mobil mewah. Tante Rani tersenyum hangat, memperkenalkan Arie kepada Yuni.
"Yuni, ini Kak Arie, keponakan Om Budiman. Arie, ini Yuni, anak Om Budiman yang paling kecil," kata Tante Rani.
Yuni, dengan senyum cerah, menyambut Arie. "Halo, Kak Arie! Senang bertemu Kakak."
Arie membalas senyumnya. "Halo, Yuni. Senang bertemu kamu juga."
Yuni tampak gembira memiliki teman baru di rumah itu. "Nanti Kak Arie tidur sama Yuni, ya?" tanyanya polos.
Arie terkejut mendengar tawaran itu, terutama dari gadis yang tingginya hampir sama dengannya. Yuni, meski masih SMP, memiliki tubuh yang tinggi dan berisi, dengan wajah yang cantik dan kulit yang bersih.
Tante Rani terkekeh melihat ekspresi Arie. "Yuni memang begitu, Kak," katanya. "Dia sudah besar, tapi kelakuannya masih seperti anak kecil."
Mendengar itu, Arie hanya tersenyum canggung. Ia merasa sedikit bingung dengan postur tubuh Yuni yang dewasa, padahal usianya masih remaja. Namun, di dalam hatinya, Arie mengakui bahwa Yuni memiliki pesona yang menarik.
Setelah berkeliling rumah Om Budiman bersama Tante Rani, Arie memasuki kamarnya di lantai dua. Kamar itu terasa nyaman, dengan jendela besar yang menghadap ke halaman belakang. Di lantai itu terdapat empat kamar, masing-masing dengan kamar mandi pribadi. Tante Rani menempati kamar utama di bagian depan, sementara Arie memilih kamar di belakang, berseberangan dengan kamar Yuni.
Saat melepas pakaiannya yang basah oleh keringat, Arie mengamati pemandangan di luar jendela. Matanya tertuju pada rumah di belakang, tempat Pak Dadi tinggal. Ia melihat Pak Dadi sedang duduk di sofa, merangkul istrinya, Astri, sambil menonton televisi. Asap rokok mengepul dari tangannya yang lain. Arie tahu, keluarga Pak Dadi sangat harmonis, meski mereka belum dikaruniai anak. Kabarnya, Pak Dadi divonis tidak subur oleh dokter pribadi Om Budiman.
Hari-hari berlalu, Arie semakin betah tinggal di rumah Om Budiman. Tante Rani yang ramah dan seksi, serta Yuni yang menggemaskan, membuat hari-harinya terasa menyenangkan. Terkadang, tingkah polos Yuni membuat Arie merasa geli, dan sesekali membangkitkan hasratnya. Arie juga mulai menyadari kesepian yang dirasakan Tante Rani.
Suatu hari, saat mereka berbelanja di BIP, pusat perbelanjaan di Bandung, Tante Rani menggandeng lengan Arie dengan mesra. Arie tidak merasa risih, karena ia menganggapnya sebagai kebiasaan yang wajar, apalagi di tempat umum. Namun, saat mereka berada di dalam mobil, Tante Rani tiba-tiba berkata, "Sebenarnya, Tante tidak bahagia."
Arie terkejut. Ia tidak tahu harus berkata apa. Tante Rani melanjutkan, "Om Budiman sudah tidak seperti dulu. Dia... dia tidak bisa memuaskan Tante lagi."
Arie merasa canggung mendengar pengakuan itu. Ia tidak menyangka Tante Rani akan menceritakan masalah pribadinya kepadanya.
Arie semakin bingung. Ia tidak tahu harus berkata apa, karena ia tahu ia tidak bisa memenuhi kebutuhan Tante Rani. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia sering membayangkan dirinya memuaskan Tante Rani, membayangkan tubuhnya menyatu dengan tubuh wanita yang lebih tua itu.
Saat mobil berhenti di lampu merah, Tante Rani tiba-tiba berbaring di pangkuan Arie. Ia terus bercerita tentang kegundahan hatinya, tentang kesepian yang selama ini ia rasakan. "Hanya kamu yang tahu ini, Arie," bisiknya.
Saat ia berbicara, rok mininya sedikit tersingkap, memperlihatkan paha mulusnya. Arie bisa melihat dengan jelas gundukan rambut hitam di sekitar kemaluan Tante Rani, yang terbungkus celana dalam nilon transparan. Ia menelan ludah, berusaha menenangkan Tante Rani yang tampak semakin bergairah.
Ketika Arie hendak memindahkan tuas persneling, tangannya tak sengaja menyentuh payudara Tante Rani yang mengeras. Tante Rani mendongak, bibirnya yang merah merekah seolah meminta Arie untuk terus menyentuhnya.
"Arie..." desahnya, matanya menatap Arie dengan penuh hasrat.
Arie merasa darahnya berdesir. Ia tahu, ia tidak bisa menahan diri lagi. Ia mencondongkan tubuhnya, mencium bibir Tante Rani dengan penuh gairah. Tangan mereka saling menjelajah, mencari kehangatan dan kenikmatan.
Bersambung ke bagian 02
Posting Komentar untuk " Adik Tanteku yang Lugu - Part 1"