Adik Kecilku

 

 
Kos-kosan di daerah Senayan ini memang sempit, tapi setidaknya lokasinya strategis. Kamarku bersebelahan dengan kamar seorang gadis muda. Tubuhnya mungil, kulitnya putih bersih, dan senyumnya... ah, senyumnya bisa membuat hari-hariku yang monoton jadi lebih berwarna. Di kamarku, ada beberapa lubang ventilasi kecil. Awalnya, lubang-lubang itu kututup kertas putih, tapi sejak gadis itu pindah ke sebelah, kertas-kertas itu kulepas satu per satu. Rasa penasaran mengalahkanku.

Malam itu, suara pintu kamarnya yang berdecit memecah keheningan. Aku segera naik ke atas meja, mengintip melalui lubang ventilasi. Gadis itu, yang belakangan kuketahui bernama Melda, baru pulang. Sudah larut malam begini, dari mana saja dia? Tanyaku dalam hati. Melda meletakkan tasnya, melepas sepatu, dan mengambil segelas air putih. Lalu, dia duduk di kursi, mengangkat kakinya ke arah lubang ventilasi tempatku mengintip. Lampu kamarku sudah kumatikan, jadi dia tidak bisa melihatku. Hanya aku yang bisa melihatnya dengan jelas.

Di posisi kakinya yang terangkat di atas kursi, celana dalamnya yang putih terlihat jelas, dengan gundukan kecil di tengahnya. Tanpa sadar, penisku di dalam celana mulai mengeras. Mataku terpaku pada pemandangan yang mempesona itu. Melda kemudian bangkit dari kursi, melepas baju dan rok sekolahnya, hanya menyisakan bra dan celana dalam. Ia bercermin, mengamati tubuhnya yang ramping dan putih. Tangannya mulai membelai payudaranya yang masih kecil. Ia memutar lembut putingnya, memejamkan mata seolah menikmati sensasi itu. Tangan lainnya meluncur ke bawah, menggosok celana dalamnya dengan pelan. Tangannya masuk ke dalam celana, bermain di sana untuk waktu yang lama. Aku gemetar, penisku semakin tegang.

Melda kemudian melepas celana dalamnya. Wow, vaginanya masih mulus, tanpa sehelai rambut pun, menggunduk seperti bukit kecil yang indah. Ia naik ke tempat tidur, menelungkup, dan menggoyangkan pantatnya, seolah sedang bercinta.

Melda menggoyangkan pantatnya ke kiri, ke kanan, naik dan turun, seolah mencari kenikmatan yang selama ini ia idamkan. Namun, setelah lama bergoyang, ia tampak belum menemukan kepuasan. Ia bangkit dan menuju kursi, menempelkan vaginanya pada ujung kursi, dan mulai menggoyangkan pinggulnya maju mundur. Melda tampak sangat terangsang, napasnya yang tertahan menunjukkan betapa ia berusaha keras meraih kenikmatan surgawi itu.

Namun, ia masih belum puas. Melda kemudian mengambil spidol, membasahinya dengan ludah, dan perlahan memasukkannya ke dalam vaginanya. Saat spidol itu masuk sekitar satu atau dua sentimeter, matanya mulai terpejam dan erangan napasnya semakin memburu. "Ahh... ahh..." Ia mencabut spidol itu, lalu memasukkan jari tengahnya ke dalam vaginanya. Pertama, jarinya masuk sebatas kuku, lalu ia mendorongnya lebih dalam, hingga setengah jari. "Oohh... ohh... ahh..." Ia melenguh, tetapi tampaknya masih belum cukup. Ia mencabut jarinya, mencari sesuatu yang lain. Aku yang menyaksikan semua itu sudah tidak tahan lagi.

Penisku sangat keras dan tegang. Aku membuka celana dalamku, membiarkan penisku bebas berdiri lebih gagah, lebih besar, melihat vagina Melda yang basah dan terangsang. Aku mengintip lagi, dan melihat Melda menempelkan vaginanya yang montok pada ujung meja belajarnya. Ia bergerak maju mundur, menekan kuat-kuat, dan setelah beberapa saat, ia melenguh, "Ahh... ahh... ahh..." Ia telah mencapai klimaksnya.

Setelah mencapai klimaks, Melda berbaring di tempat tidurnya, napasnya tersengal-sengal. Kini, posisinya tepat di depan pandanganku. Kulihat vaginanya yang berubah warna menjadi kemerahan, bekas gesekan dengan kursi dan meja. Vaginanya sedikit membengkak, menggoda seperti kue apem yang ingin kulahap. Tanpa sadar, tanganku mulai memainkan penisku yang masih tegang. Kuambil sedikit krim wajah, mengoleskannya pada kepala penisku, dan mulai mengocoknya naik turun. "Akhh..." aku mendesah pelan saat air maniku memuncrat ke dinding, mataku tetap terpaku pada vagina Melda yang tergeletak di tempat tidurnya. Rasanya nikmat sekali, onani sambil menyaksikan Melda yang telanjang bulat.

Pagi itu, aku bangun kesiangan dan terburu-buru berangkat ke kantor. Pekerjaan menumpuk, dan baru pukul sembilan malam aku bisa pulang. Setelah makan malam di jalan, aku mampir ke minimarket membeli dua botol bir dingin, lalu pulang ke kos. Aku duduk di sofa, menyalakan TV dengan volume pelan, dan meneguk bir dingin. Acara TV tidak ada yang menarik, pikiranku melayang ke kamar sebelah, ke Melda, yang tadi malam telah kulihat segalanya.

Aku naik ke atas meja, mengintip melalui lubang ventilasi. Melda sedang tidur pulas di kasurnya, napasnya teratur naik turun. Tiba-tiba, hasratku muncul. Aku mengganti celana panjangku dengan celana pendek, melepaskan celana dalamku. Aku nekat. Aku keluar kamar, berpura-pura merokok di depan pintu. Setelah memastikan tidak ada orang, aku mencoba membuka pintu kamar Melda. Ternyata tidak terkunci. Mungkin dia lupa, atau terlalu lelah untuk memikirkannya.

Dengan hati-hati, aku menyelinap masuk ke kamarnya, mengunci pintu perlahan dari dalam. Aku mendekati tempat tidurnya, memandangi wajah mungilnya. "Alaamaak," Melda mengenakan daster tipis, tembus pandang, memperlihatkan celana dalamnya yang berwarna merah muda. "Ohh... glekk," aku menelan ludah, penisku langsung menegang sempurna, keluar dari celana pendekku. Aku mengamati wajahnya, matanya, alisnya yang tebal, hidungnya yang mancung sedikit melengkung, pertanda nafsu seks yang besar. Aku ingin sekali menerkamnya, tapi aku tidak mau terburu-buru.

Setelah yakin Melda benar-benar tertidur pulas, aku perlahan membuka tali dasternya, menyampirkannya ke samping. Paha putihnya yang kecil dan padat terlihat jelas, pemandangan yang menakjubkan. Celana dalamnya yang mini memperlihatkan gundukan kecil di bawahnya, membuat penisku berdenyut-denyut. Perlahan, tanganku menyentuh vaginanya yang masih tertutup. Aku diam sejenak, takut Melda terbangun, tapi ia tampak benar-benar tertidur. Aku mulai menyibak celana dalamnya, melihat vaginanya yang mungil, lucu, menggembung, seperti kue apem dengan kacang di ujungnya.

"Huaa," aku merinding, gemetar. Aku memainkan jariku di pinggiran vaginanya, memutar, menggesek pelan, sesekali memasukkan jariku ke dalam lubang kecil yang indah itu. Bulunya tipis dan lembut. Penisku semakin tegang, aku mendesah pelan. "Ahh, indahnya kau, Melda. Betapa ingin kumiliki kau, aku menyayangimu, cintaku hanya untukmu." Aku terperanjat saat Melda bergerak, menggerakkan tangannya tanpa sadar, tapi napasnya tetap teratur, ia masih tidur pulas.

Dengan nekat, aku menarik celana dalamnya perlahan, tanpa suara. Celana itu meluncur turun, terlepas dari kakinya, meninggalkan Melda telanjang bulat. Pemandangan yang luar biasa, dari kaki hingga wajahnya, aku tatap tanpa berkedip. Payudaranya yang masih berupa puting kecil itu sangat indah. Akh, sungguh luar biasa. Perlahan, aku menempelkan wajahku pada vaginanya yang merekah seperti bunga mawar, menghirup aroma wanginya yang khas. Aku benar-benar tidak tahan. Lidahku mulai bermain di sekitar vaginanya. Aku memang terkenal ahli dalam permainan lidah, setiap wanita yang pernah merasakan lidahku pasti ketagihan. Aku mulai beraksi.

Lereng gunung vaginanya kusapu dengan lidahku, mengayunkan lidah di pinggirannya, sesekali menyenggol klitorisnya yang indah. Gua kecil itu kucolok lembut dengan lidahku yang sengaja kuulurkan panjang, mengusap, mencolok, menjelajahi gua indahnya. Lama-kelamaan, gua itu mulai basah, lembap, berair. Oh, nikmatnya air itu, aroma khasnya membuatku bergetar. Penisku sudah tidak sabar, tapi aku masih takut Melda terbangun. Desakan kuat pada penisku semakin besar, nafasku tidak karuan, tapi Melda masih tertidur pulas.

Aku semakin bersemangat, mengerahkan semua kemampuan lidahku. Vagina mungil, indah, basah. Rasanya seperti sudah siap menyambut senjataku yang berontak, menerobos gua misterius berumput tipis milik Melda. Namun, aku menahan diri, lidahku masih asyik bermain, memberikan kenikmatan luar biasa bagi Melda.

Sayang sekali Melda tertidur pulas. Seandainya ia sadar, pasti kenikmatan yang dirasakannya akan berlipat ganda. Meski begitu, secara psikologis dan biologis, kenikmatan ini pasti terbawa dalam mimpinya. Buktinya, napasnya mulai tersengal, vaginanya basah, tanda bahwa faktor psikologis itu bekerja dengan baik. Seperempat dari kenikmatan penuh saat sadar, tetap terasa luar biasa baginya.

Setelah lidahku puas bermain di vaginanya, aku mengoleskan penisku yang sudah tegang di ujung vaginanya, lalu di klitorisnya yang memerah. Rasa basah dan hangat vaginanya membuat penisku bergerak sendiri, mencari lubang kenikmatan. Setelah cukup bermain di area sensitifnya, aku perlahan memasukkan penisku ke dalam vaginanya. "Sleepp... slesepp..." kepala penisku yang gundul masuk sepenuhnya ke dalam vagina Melda yang hangat dan nikmat.

Aku mengamati wajahnya sejenak. Masih pulas, hanya sesekali napasnya tersendat, "Ehh... eh... ss..." seperti mengigau. Aku mencabut penisku sedikit, lalu memasukkannya lagi lebih dalam, hampir setengahnya. "Akhh... ahh, betapa nikmatnya, betapa enaknya vaginamu, Melda. Betapa seretnya lubangmu, sayang." Aku terhenti, menatap wajahnya yang cantik, mencerminkan sumber seks yang luar biasa. "Oh, Melda, betapa sempurnanya tubuhmu, betapa enaknya vaginamu, betapa nikmatnya lubangmu. Aku akan bertanggung jawab untuk semuanya ini. Aku sangat menyayangimu."

Aku mendorong penisku lebih dalam lagi, "Bleess... blessess... Akhh... akhh..." sungguh luar biasa, sungguh nikmat. Belum pernah ada wanita dengan vagina seenak dan segurih ini.

Saat penisku masuk lebih dalam, Melda sedikit tersentak, mungkin dalam mimpinya ia merasakan kejutan dan kenikmatan. Ia mengerang, erangan nikmat surgawi, yang kurasa pasti ia rasakan meski dalam tidurnya.

Saat penisku masuk sepenuhnya ke dalam vaginanya, aku mendorongnya lebih dalam, lalu menariknya keluar dan mendorongnya masuk lagi, menggoyangkannya perlahan ke kiri, kanan, atas, dan bawah. Tubuhku bergetar merasakan nikmat yang diberikan vagina Melda. Aneh, luar biasa, vaginanya menggigit lembut, menghisap pelan, meremas senjataku dengan lembut dan penuh kasih. Vagina yang luar biasa. Oh, Melda, aku tak akan meninggalkanmu.

Aku mulai mengayunkan pinggulku dengan kecepatan taktis, menciptakan gerakan yang kurancang khusus untuk memuaskan Melda. Aku mendorong penisku sedalam mungkin ke dasar vaginanya. Akh, sumur Melda memang bukan main. Meski lubangnya kecil, ia menampung senjataku yang besar dan panjang, dengan urat-urat yang menonjol. Vagina yang luar biasa.

Saat penisku menghunjam dalam-dalam, aku merasakan kenikmatan luar biasa yang akan memuncak. "Ohh... ohh..." aku mempercepat gerakanku, dan air maniku memuncrat di dalam vaginanya yang sempit. Aku lemas, segera mencabut penisku, takut Melda terbangun.

Setelah selesai, aku merapikan diri. Aku memakaikan celana dalamnya, lalu dasternya. Sebelum pergi, aku mengecup keningnya, tanda sayang yang tulus. Lalu, aku perlahan meninggalkan kamarnya, menutup pintu. Aku kembali ke kamarku, berbaring di tempat tidur, menghayati permainan tadi. Sungguh kenikmatan yang tiada tara. Aku pun tertidur pulas.

Keesokan harinya, aku bangun pagi, mandi, dan bersiap ke kantor. Saat hendak menutup pintu kamar, Melda keluar dan tersenyum padaku. "Mau berangkat, Pak?" tanyanya. Aku mengiyakan dengan gugup. "Kok Melda tidak sekolah?" tanyaku. "Nanti, Pak, Melda masuk siang." Aku tersenyum, dan Melda bergegas keluar, mungkin mencari sarapan. Aku mencegat taksi dan berangkat ke kantor.

TAMAT

Posting Komentar untuk "Adik Kecilku"